Monday, 20 January 2014

Runtuhnya Kekuasaan "Sang Ratu"



Setelah hampir delapan tahun berkuasa, dinasti
kekuasaan yang dibangun Atut mulai goyah.  Itu diawali dengan tertangkapnya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik Atut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2 Oktober 2013. Wawan disangka menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten.

Tertangkapnya Tubagus Chaeri Wardana
Satu hari ditangkapnya Wawan, Ratu Atut kemudian dicegah bepergian ke luar negeri menyusul ditetapkannya Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar terkait dugaan penerimaan suap kepala daerah Kabupaten Lebak, Banten dan Kabupaten Gunungmas, Kalimantan Tengah.





Selang beberapa bulan kemudian, KPK yang bergerak cepat pada Senin, 16 Desember 2013 malam hingga Selasa dini melakukan penggeledahan di kantor dan kediaman Atut di Serang, Banten. Kemudian, pada Selasa, 17 Desember 2013, Ketua KPK Abraham Samad mengumumkan jika Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah resmi sebagai tersangka dalam kasus suap suap terkait penanganan sengketa pilkada Lebak. 
Atut, kata Abraham, dijerat dengan Pasal 6 Ayat 1 Huruf a UU No 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. "Kenapa juncto? Karena dalam kasus itu, tersangka Ratu Atut dinyatakan secara bersama-sama atau turut serta dengan tersangka yang sudah ditetapkan terlebih dulu, yaitu TCW (adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana) dalam kasus penyuapan Ketua MK Akil Mochtar," ujar Abraham.
KPK menetapkan Atut sebagai tersangka dalam kasus pemberian hadiah kepada mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam penanganan perkara pilkada Lebak sejak 16 Desember 2013 bersama dengan dua tersangka lain yaitu adik Atut, pengusaha Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dan seorang pengacara yang diduga sebagai perantara pemberian uang, Susi Tur Andayani.
Atut yang masih berduka lantaran ditinggal wafat suami, Hikmat Tomet  pada 9 November 2013, resmi ditahan KPK pada hari Jum'at 20 Desember 2013. Ia pun dibawa ke Rutan Pondok Bambu untuk menjalani masa tahanan sebelum disidang.
Pelan namun pasti, simbol-simbol kebesaran Atut tampak mulai dilucuti. Dengan status tersangka yang disandangnya,  secara moral, legitimasinya sebagai gubernur Banten mulai dipertanyakan. KPK bahkan sudah berencana mengirim surat rekomendasi pemberhentian sementara Atut dari jabatannya.


KPK Jerat Atut dengan Sangkaan lain
KPK yang terus mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah memiliki bukti baru jika Atut  disangka memaksa pihak lain demi keuntungan diri sendiri dalam proyek alat kesehatan (alkes) di Provinsi Banten sehingga dijerat dengan pasal 12 huruf (e) UU Pemberantasan Korupsi.
"Dari hasil pengembangan maka penyidik juga telah menemukan dugaan tindak pidana korupsi terkait pasal sangkaan yang baru yaitu Pasal 12 huruf e atau Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi SP di KPK, Jakarta, Senin (13/1).


Menurut Johan, sangkaan baru yang disematkan ke Atut itu berkaitan dengan tugas dan fungsinya sebagai seorang Gubernur Banten.


Kehidupan Atut di Rutan Pondok Bambu
Barangkali tak pernah terbayangkan oleh Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, jika dunia bisa berputar 180 derajat sedemikian cepat. Fasilitas sebagai Gubernur tidak akan lagi tersedia. Dari sosok yang serba dilayani, kini ia mesti mengerjakan semuanya sendiri seperti menyapu, mengepel, dan membereskan tempat tidur. Bahkan ia harus membiasakan diri seperti tahanan lain untuk tidur di atas kasur yang tentu berbeda dari kasur di rumahnya. Untuk makanan pun, Atut juga harus membiasakan diri dengan makanan yang tersedia di rutan tersebut.
Atut dikarantina di ruang C13 Rumah Tahanan Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur, bersama 16 tahanan lain. Sempat ada kabar jika Atut mengupah tahanan lain untuk membantu keperluannya selama ditahan di rutan Pondok bambu. Namun, Sukatma, pengacara Atut membantahnya.
"Kalau dia menggunakan taping (sebutan pembantu di rutan-red) itu tidak benar. Dia lakukan (mengurus keperluan) itu secara sendiri sama seperti warga binaan yang lain," kata Sukatma.
Menurut juru bicara KPK Johan Budi jika terbuka kemungkinan sewaktu-waktu Atut dipindahkan ke rutan milik KPK jika kemudian timbul kekhawatiran adanya intervensi pihak lain terhadapnya atau jika pengawasannya sulit terpantau. “Kemungkinan dipindahkan itu bisa saja,” kata Johan

No comments:

Post a Comment